HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DAN BURNOUT PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

�����������
I Putu Yoga Ari Wijaya1, Ni Nyoman Ari Indra Dewi2*, I Gde Dhika Widarnandana3

Universitas Dhyana Pura, Bali, Indonesia

[email protected]

 

Abstrak:

Kemajuan zaman telah memperumit kebutuhan manusia, terutama dalam hal pendidikan yang merupakan aspek krusial dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi pembangunan negara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji korelasi antara kesejahteraan psikologis dan kelelahan di antara siswa yang bekerja di Bali. Studi ini menggunakan metodologi kuantitatif, mengumpulkan data melalui survei yang disusun pada skala Likert. Sampel terdiri dari 82 siswa yang dipilih dengan proses pengambilan sampel acak sederhana. Instrumen yang digunakan terdiri dari Copenhagen Burnout Inventory (CBI) untuk menilai kelelahan dan skala kesejahteraan psikologis yang mencakup enam dimensi: penerimaan diri, tujuan hidup, pengembangan pribadi, hubungan interpersonal positif, penguasaan lingkungan, dan otonomi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metodologi korelasi Pearson di SPSS 25 untuk Windows. Temuan ini menunjukkan korelasi terbalik yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan kelelahan, menyiratkan bahwa seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan psikologis, tingkat kelelahan yang dirasakan siswa menurun. Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis secara signifikan berkontribusi pada pengurangan kelelahan di antara siswa yang bekerja. Oleh karena itu, intervensi yang menargetkan peningkatan kesejahteraan psikologis dapat menjadi pendekatan yang sukses dalam mengatasi kelelahan.

 

Kata Kunci: Kesejahteraan Psikologi, Burnout, Mahasiswa yang Bekerja, Skala Copenhagen Burnout Inventory (CBI)

 

Abstract:

The advancement of modern times has complicated human needs, particularly in education, which is a crucial aspect in preparing human resources for national development. This study aims to examine the correlation between psychological well-being and burnout among working students in Bali. The study utilizes a quantitative methodology, gathering data through a survey structured on a Likert scale. The sample consists of 82 students selected through a simple random sampling process. Instruments used include the Copenhagen Burnout Inventory (CBI) to assess burnout and a psychological well-being scale covering six dimensions: self-acceptance, purpose in life, personal growth, positive interpersonal relationships, environmental mastery, and autonomy. Data analysis was conducted using Pearson correlation methodology in SPSS 25 for Windows. Findings indicate a significant inverse correlation between psychological well-being and burnout, implying that as psychological well-being levels increase, perceived burnout levels among students decrease. In conclusion, this study demonstrates that psychological well-being significantly contributes to reducing burnout among working students. Therefore, interventions targeting psychological well-being enhancement may be an effective approach to addressing burnout.

 

Keywords: Psychological well-being, burnout, working students, Copenhagen Burnout Inventory (CBI)

 

Pendahuluan

Kemajuan zaman telah memperumit kebutuhan manusia, terutama dalam hal pendidikan yang merupakan aspek krusial dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi pembangunan negara. Mahasiswa memiliki berbagai kebutuhan untuk menunjang pendidikan mereka, mulai dari biaya kuliah hingga kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan ini, banyak mahasiswa memilih untuk bekerja selama masa studi, baik karena alasan keuangan, keinginan untuk mandiri, atau untuk mendapatkan pengalaman kerja (Sebayang, 2018).

Survei menunjukkan bahwa Indonesia memiliki biaya pendidikan yang relatif tinggi dibandingkan negara lain, dengan peningkatan biaya yang terus berlangsung setiap tahunnya. Hal ini membuat mahasiswa harus mencari cara untuk memperoleh pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka, terutama karena beasiswa yang tersedia terbatas dan persaingan yang ketat , (Andriani, 2019; Gewati, 2017).

Mahasiswa yang bekerja menghadapi rutinitas harian yang monoton, yang dapat menyebabkan kejenuhan dan burnout. Burnout ini ditandai dengan kelelahan mental dan emosional yang berdampak pada kesejahteraan psikologis mahasiswa, mengurangi motivasi mereka dalam studi dan pekerjaan (Mardelina & Muhson, 2017).

Penelitian saat ini berfokus pada hubungan antara kesejahteraan psikologis dan burnout pada mahasiswa yang bekerja, sedangkan penelitian terdahulu cenderung memisahkan kedua variabel ini atau fokus pada subjek selain mahasiswa. Misalnya, penelitian oleh Rahmatpour et al (2019). lebih berfokus pada kelelahan akademis tanpa memperhitungkan kesejahteraan psikologis secara menyeluruh, sedangkan penelitian Sarauan dan Ambarwati (2022) melihat korelasi kesejahteraan psikologis dan burnout pada pekerja, bukan mahasiswa. Penelitian ini menawarkan pendekatan yang lebih holistik dengan menghubungkan kedua variabel dalam konteks mahasiswa yang bekerja penuh waktu.

Burnout seringkali disebabkan oleh tekanan yang berkepanjangan di lingkungan kerja, serta faktor internal seperti kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri. Mahasiswa yang bekerja penuh waktu cenderung mengalami kelelahan yang signifikan akibat tekanan studi dan pekerjaan, yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan mental mereka (Kholifah et al., 2016).

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada penggabungan dua konsep yang sebelumnya banyak diteliti secara terpisah�yaitu burnout dan kesejahteraan psikologis�dalam konteks mahasiswa yang bekerja. Penelitian ini juga memberikan wawasan baru tentang bagaimana mahasiswa dapat lebih siap menghadapi burnout melalui peningkatan kesejahteraan psikologis. Pendekatan komprehensif ini, yang mempertimbangkan enam dimensi kesejahteraan psikologis (seperti yang dijelaskan oleh Ryff), belum banyak diterapkan dalam penelitian-penelitian terdahulu di Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji korelasi antara kesejahteraan psikologis dan burnout di kalangan mahasiswa yang bekerja penuh waktu. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi burnout, penelitian ini diharapkanbisa menjadi bagian dari referensi untuk literatur yang berkaitan dengan manajemen stres dan juga kesehatan mental mahasiswa (Maslach & Jackson, 2017).

Mahasiswa yang bekerja menghadapi tekanan dari dua sisi: akademik dan pekerjaan. Burnout, atau kelelahan emosional, sering terjadi akibat tuntutan yang berkepanjangan, baik dari sisi akademik maupun profesional. Hal ini berisiko mengurangi kesejahteraan psikologis mahasiswa, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan kesehatan mental mereka. Meskipun banyak penelitian sebelumnya yang mempelajari burnout dan kesejahteraan psikologis secara terpisah, hanya sedikit yang fokus pada interaksi kedua variabel ini dalam populasi mahasiswa yang bekerja.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pengembangan intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis mahasiswa yang bekerja, sekaligus mengurangi burnout. Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh universitas dan organisasi mahasiswa untuk merancang program-program yang mendukung keseimbangan antara studi dan pekerjaan. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi landasan bagi studi lanjutan terkait manajemen stres dan kesehatan mental di kalangan mahasiswa yang menghadapi tuntutan ganda dari segi akademik dan pekerjaan.

 

 

Metode

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah regresi linier sederhana dengan variabel independent dan dependen (Siregar, 2017). Variabel yang dipergunakan pada studi ini antara lain: Variabel 1: Burnout dan Variabel 2: Kesejahteraan Psikologis

Definisi Operasional Variabel Penelitian: Burnout adalah keadaan sangat lelah dalam bidang tertentu kehidupan, seperti pekerjaan. Skor burnout diukur dengan skala dari Kristensen, Borritz, Villadsen, dan Christensen (2021) yang mencakup tiga aspek: kelelahan terkait pekerjaan, kelelahan pribadi, dan kelelahan terkait klien. Skor tinggi menunjukkan tingkat burnout yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Skala yang digunakan adalah skala Copenhagen Burnout Inventory (CBI), yang memberikan gambaran komprehensif tentang berbagai aspek burnout dalam konteks pekerjaan (Todorovic et al., 2021).

Miller (2020) menguraikan bahwa kesejahteraan psikologis ialah kondisi di mana seseorang bisa menerima diri, membangun hubungan positif, mempunyai kemandirian, mengendalikan lingkungan, merancang tujuan hidup, dan mengimplementasikan potensinya. Skala ini mempertimbangkan enam aspek penting: penerimaan diri, tujuan hidup, pengembangan diri, relasi dengan orang lain, kontrol lingkungan, dan otonomi. Skor tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, dan sebaliknya. Skala ini memberikan gambaran luas tentang kesejahteraan seseorang dalam berbagai aspek kehidupan (Miller, 2020).

Penelitian ini melibatkan subjek yang memenuhi kriteria sebagai mahasiswa yang bekerja secara penuh waktu dengan rentang usia 18-25 tahun. Populasi terdiri dari mahasiswa yang bekerja dan memiliki karakteristik yang serupa secara keseluruhan (Sugiyono, 2018). Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan, populasi terdiri dari 103 mahasiswa. Untuk menentukan sampel, penelitian ini menggunakan teknik probability sampling, khususnya simple random sampling. Untuk menghitung ukuran sampel yang diperlukan, digunakan rumus Isaac dan Michael. Perhitungan dengan rumus tersebut menghasilkan ukuran sampel sebanyak 82 orang (Sugiyono, 2018).

Penelitian ini sifatnya kuantitatif, di mana peneliti menggunakan model skala Likert. Skala yang digunakan terdiri dari 2 jenis, yakni skala burnout dan skala kesejahteraan psikologis. Subjek penelitian diminta untuk menilai diri mereka sendiri dengan mengisi sejumlah pernyataan yang menggambarkan masalah yang akan diteliti. Mereka diminta memilih jawaban yang paling sesuai dengan kondisi mereka dari beberapa alternatif yang disediakan. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data yang terukur dan dapat dianalisis secara statistik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Metode ini membantu dalam mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam terkait burnout dan kesejahteraan psikologis pada subjek penelitian.

Penelitian ini menggunakan dua skala sesuai dengan jumlah variabel yang diteliti, yaitu:

Skala Burnout: skala Copenhagen Burnout Inventory (CBI) yang dikembangkan oleh Kristensen, Borritz, Villadsen, dan Christensen (2021) digunakan untuk burnout. Skala burnout tersebut diterjemahkan oleh penerjemah yang sudah disumpah dan terdiri dari 19 aitem. Skala likert digunakan dalam studi ini.

 

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Burnout

No

Dimensi

Butir Aitem

Jumlah

Favourable

unfavourable

1

Kelahan pribadi

(1),(2),3,4,5,6

-

4

2

Kelelahan terkait pekerjaan

7,8,9,10,111,12,13

10

7

3

Kelelahan terkait pelanggan

14,15,16,(17),18,19

-

5

Jumlah

15

1

16

Keterangan: Aitem dalam kurung merupakan aitem gugur

 

Hasil analisis uji validitas pada skala burnout yang berisikan 19 aitem menunjukkan nilai koefisien korelasi pada rentang di antara 0,121 - 0,887. Dari jumlah tersebut, 16 aitem memenuhi standar diskriminasi, sementara 3 aitem, yaitu aitem nomor 1, 2, dan 17, tidak memenuhi standar dan dinyatakan gugur. Selain itu, nilai Cronbach's alpha yang diperoleh dari analisis skala burnout ini adalah 0,899, memperlihatkan bahwa skala burnout ini mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi sebesar 89% (Todorovic et al., 2021).

Skala Kesejahteraan Psikologis: Ryff Psychological Well-being Scale, yang diadaptasi oleh Abbott et al. (2006) merupakan Skala yang digunakan untuk menaksir kesejahteraan psikologis dalam penelitian ini.Skala kesejahteraan psikologis ini berisikan 42 aitem yang terbagi menjadi 20 aitem favorable (positif) dan 22 aitem unfavorable (negatif).Penelitian ini menggunakan skala dengan model skala Likert. Pertanyaan tersebut berisikan lima opsi jawaban: Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju (TS), Agak Setuju (AS), Agak Tidak Setuju (ATS), (STS) Setuju (S) Sangat Setuju (SS). Hasil analisis uji validitas pada skala kesejahteraan psikologis yang berisikan 42 aitem menunjukkan nilai koefisien korelasi dengan rentang antara -0,444 - 0,878. Dari jumlah tersebut, 16 aitem tidak memenuhi standar dan dinyatakan gugur, yaitu aitem bernomor 1, 2, 3, 4, 9, 10, 15, 18, 22, 23, 28, 35, 37, 38, 40, dan 42. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, nilai Cronbach's alpha yang didapat melalui analisis skala kesejahteraan psikologis ini adalah 0,933, menguraikan bahwa skala yang tingkat reliabilitasnya tinggi sebesar 93% (Abbott et al., 2006). Setelah uji coba distribusi aitem skala kesejahteraan psikologis adalah:

 

Tabel 2. Distribusi Aitem Kesejahteraan Psikologis

 

No

Aspek

Butir Aitem

Jumlah Aitem

(Favourable)

(Unfavourable)

1

Penerimaan diri

36

(37).(38).39

(40).41.(42)

2

Hubungan positif dengan orang lain

8.(9).(10).11

12.13.14

5

3

penegmbangan diri

(22).(23)

24.25.26.27.(28)

4

4

Tujuan dalam hidup

29.30

31.32.33.34.(35)

6

5

Tujuan dalam hidup

(15).16.17.(18)

19.20.21

5

6

Otonomi

(1).(2).(3).(4)

5.6.7

3

Jumlah

8

18

26

Keterangan: Aitem dalam kurung merupakan aitem gugur.

 

1.      Uji Daya Diskriminasi Aitem

Uji daya ini dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan individual dengan memeriksa kesesuaian antara fungsi aitem dan fungsi skala. Fungsi skala dapat dioptimalkan dengan memilih aitem berdasarkan nilai koefisien korelasi yang tinggi. Jika sesuai dengan hubungan aitem-total, batas minimal yang dipakai adalah riX ≥ 0,30. Namun, batas ini bisa diturunkan menjadi 0,25 jika jumlah aitem yang lolos masih belum mencukupi target yang diinginkan (Bashooir & Supahar, 2018)

 

2.      Validitas Alat Ukur

Validitas adalah kecermatan dan ketepatan sebuah skala dalam menjalankan fungsi pengukurannya. Ketika hasil pengukuran yang dilakukan selaras dengan tujuan tes, maka alat tes tersebut memiliki validitas yang tinggi. Tujuan dari pengukuran sangat erat kaitannya dengan validitas. Artinya, alat ukur itu hanya bisa mengukur apa yang akan diukur dan tidak dapat digunakan untuk mengukur tujuan lain. Hal ini berarti bahwa validitas ini adalah pertimbangan yang sangat penting untuk dapat melakukan evaluasi terhadap kualitas aitem sebagai alat ukur (Bashooir & Supahar, 2018). Suatu aitem dengan koefisien validitas minimal 0,30 menunjukkan bahwa aitem tersebut memuaskan. Namun, jika diperlukan standar minimal, koefisien validitas dapat diturunkan menjadi 0,25 (Bashooir & Supahar, 2018).

 

3.      Reliabilitas Alat Ukur

Sejauh mana data hasil pengukuran memiliki hasil yang sama dengan menggunakan aspek yang sama disebut reliabilitas. Pada dasarnya, yang menjadi konsep reliabilitas yaitu seberapa jauh proses sebuah pengukuran menunjukkan hasil yang bisa dipercaya. Besarnya koefisien reliabilitas secara teoritik berkisar dari 0,0 � 1,0. Nilai koefisien sebesar 1,0 menunjukkan bahwa terdapat konsistensi yang sempurna pada alat ukur tersebut, dan sebaliknya (Bashooir & Supahar, 2018).

 

Tabel 3. Hasil Uji Reliabilitas Burnout

Reliability Statistics

Cronbach�s Alpha

N of Items

.899

16

 

Tabel 4. Hasil Uji reliabilitas kesejahteraan psikologi

Reliability Statistics

Cronbach�s Alpha

N of Items

.933

26

 

4.      Analisis Data

Data dianalisis menggunakan program SPSS 25 for Windows untuk memastikan keakuratan dan validitas hasil. Analisis data dilakukan menggunakan metode korelasi Product Moment Pearson untuk mengukur hubungan antara variabel burnout dan kesejahteraan psikologis.

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan mahasiswa yang bekerja di beberapa universitas di Bali, termasuk dalam komunitas mahasiswa dan institusi pendidikan tinggi. Penelitian ini melibatkan 82 responden, terdiri dari 35 priadan 47 wanita, yang berusia di kisaran 18 sampai dengan 25 tahun. Semua responden adalah mahasiswa yang bekerja penuh waktu dari berbagai program studi yang memungkinkan mereka untuk bekerja. Lokasi penelitian mencakup beberapa universitas di Bali, seperti Universitas Dhyana Pura, Universitas Terbuka, Universitas Bina Usada, Universitas Mahasaraswati, dan Universitas Warmadewa.

 

1.      Persiapan Alat Ukur

Peneliti menggunakan skala burnout dan skala kesejahteraan psikologis.

Skala CBI ini mencakup 3 dimensi burnout: personal burnout (kelelahan pribadi), work-related burnout (kelelahan terkait pekerjaan), dan client-related burnout (kelelahan terkait pelanggan). Skala ini berisikan 18 aitem favourable (mendukung) dan 1 aitemunfavourable (tidak mendukung).

Selanjutnya, pengukuran kesejahteraan psikologis dengan menggunakan Ryff Psychological Well-Being Scale yang diadaptasi oleh Abbott et al., (2006). Skala ini didasarkan pada enam aspek: tujuan hidup, penguasaan lingkungan, penerimaan diri, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, dan otonomi.

Skala ini berisikan 42 aitem, 20 aitem mendukung (favourable) dan 22 aitem tidak mendukung (unfavourable).

 

2.      Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur ini dijalankan di 39 mahasiswa dari 5 universitas di Bali dengan tujuan untuk menentukan kelayakan aitem-aitem melalui uji validitas dan reliabilitas. Pengumpulan data uji coba ini berlangsung dari Januari hingga Februari 2024. Peneliti menggunakan standar diskriminasi sebesar 0,25 sesuai dengan Bashooir (2018). Hasil yang didapat melalui uji coba ini ialah seperti berikut:

 

Tabel 3. Proses Pelaksanaan Penelitian

Kategori

Keterangan

Waktu Penelitian

2 bulan, Januari hingga Februari 2024

Tempat Penelitian

Universitas Dhyana Pura, Universitas Mahasaraswati,

Universitas Warmadewa, Universitas Bina Usada, Universitas

Terbuka Denpasar

Try out

39 mahasiswa yang bekerja

Penelitian Utama

82 mahasiswa yang bekerja

Rentang Usia

18-25 tahun

3.      Uji Asumsi

Uji asumsi yakni salah satu prasyarat sebelum melaksanakan uji korelasi diantara variabel independen dan variabel dependen, atau yang dikenal sebagai uji hipotesis. Uji asumsi yang perlu peneliti laksanakan yakni uji linieritas dan uji normalitas.

 

4.      Uji Normalitas

Uji ini bertujuan untuk menentukan apakah data pada studi ini terdistribusinormal atau tidak. Uji ini dapat dilaksanakan melalui penggunaan SPSS 25 for Windows. Distribusi data dianggap normal jika nilai koefisien signifikansi (p) > 0,05 dan dinyatakan tidak normal bila nilai koefisien signifikansi (p) < 0,05. Berikut adalah perolehan uji normalitas pada studi ini.

 


Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Variabel Burnout dan Kesejahteraan Psikologis

Berdasarkankan tabel 4 perolehan uji normalitas memperlihatkan bahwasannya variabel burnout memiliki nilai koefisien signifikansi (p) = 0,070 (p > 0,05), dinyatakan data variabel burnout terdistribusi secara normal. Sebaliknya, untuk variabel kesejahteraan psikologis, nilai koefisien signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,05), yang memperlihatkan bahwasannya data di variabel kesejahteraan psikologis berdistribusi dengan tidak normal.

 

5.      Uji Linieritas

Uji linieritas dilaksanakan di penelitian guna menentukan apakah korelasi diantara dua variabel bersifat linear ataupun tidak. Korelasi dua variabel dianggap linear bila nilai koefisien signifikansi (p) < 0,05 dan nilai deviation from linearity (p) > 0,05. Berikut adalah perolehan uji linieritas di variabel burnout dan kesejahteraan psikologis.

 

Tabel 5. Hasil Uji Linieritas Variabel Burnout dan Kesejahteraan Psikologis


Berdasarkan tabel 5 didapati bahwasannya nilai linearity antara burnout dan kesejahteraan psikologis menunjukkan koefisien linieritas (F) = 35,935 dan koefisien signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,05). Tabel itu juga memperlihatkan hasil deviation from linearity (F) = 1,408 dan (p) = 0,139 (p > 0,05). Dari penjabaran itu, bisa disimpulkan bahwasannya didapati hubungan linear diantara burnout dan kesejahteraan psikologis.

 

6.      Uji Hipotesis

Sesudah melaksanakan uji asumsi yang memperlihatkan bahwasannyasebaran data dari salah satu penelitian tidak normal, pengujian hipotesis pada studi ini mempergunakan Teknik korelasi Spearman�s Rho (non-parametrik). Hasil pengujian hipotesis ada pada table berikut:

 


Tabel 6. Hasil Pengujian Hipotesis

 

Berdasarkan hasil analisis korelasi diantara variabel burnout dan kesejahteraan psikologis, ditemukan nilai koefisien korelasi (r) yakni -0,436 dengan koefisien signifikansi (p) yakni 0,000 (p<0,05). Perolehan ini memperlihatkan korelasi negatif diantara burnout dan kesejahteraan psikologis, dimana kian tinggi tingkat burnout, kian rendah kesejahteraan psikologis, dan kebalikannya, kian rendah tingkat burnout, kian tinggi kesejahteraan psikologis di mahasiswa yang bekerja. Berdasarkan analisis korelasi diantara kedua variabel ini, hipotesis penelitian ini diterima. Pengujian juga menghasilkan nilai koefisien determinasi (r�) yakni 0,19, artinya kesejahteraan psikologis memiliki pengaruh efektif sebesar 19% pada burnout, sedangkan 81% dari variasi tersebut disebabkan faktor lainnya yang tidak diukur di penelitian ini.

 

7.      Hasil Tambahan

Hasil kategorisasi yang diperoleh untuk skor burnout adalah sebagai berikut:

 

Tabel 7. Data Kategorisasi Burnout

��������

Berdasarkankan Tabel 7 diketahui bahwa subjek pada skala burnout terbagi dalam beberapa kategori: 23 subjek (28%) ada pada kategori sangat rendah, dalam kategori rendah sebanyak 14 subjek (17,1%), yang berada dalam kategori sedang yaitu 13 subjek (15,9%), termasuk dalam kategori tinggi sebanyak 17 subjek (20,7%), dan dalam kategori sangat tinggi adalah 15 subjek (18,3%).

8.      Kesejahteraan Psikologi

 


Tabel 8. Data Kategorisasi Kesejahteraan Psikologi

 

 

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8, peserta pada ukuran kesejahteraan psikologis dikategorikan sebagai berikut: Sebanyak 16 peserta, terhitung 19,5% dari sampel, termasuk dalam kategori yang sangat rendah. Selain itu, 19 subjek, mewakili 23,2% dari sampel, diklasifikasikan sebagai rendah. Selanjutnya, 14 subjek, mewakili 17,1%, diklasifikasikan sebagai sedang. Selanjutnya, 17 subjek, mewakili 20,7%, diklasifikasikan sebagai tinggi.

 

Pembahasan

Hasil analisis yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kesejahteraan psikologis dengan burnout, maka hipotesis (H1) penelitian ini diterima. Penelitian Sarauan dan Ambarwati (2022) juga menunjukkan hasil serupa, yaitu terdapat korelasi negatif dan signifikan antara kesejahteraan psikologis dengan burnout.

Upaya yang dilakukan oleh mahasiswa yang bekerja mengikuti pola yang sama, dimana stres akademis dan tuntutan pekerjaan mempengaruhi mereka secara bersamaan. Rahmatpour et al. (2019) mengatakan bahwa masalah burnout banyak terjadi ketika orang mengalami kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan kesuksesan akibat stres yang berkepanjangan di lingkungan kerja dan lingkungan pendidikan. Penelitian ini selaras dengan studi oleh Maslach dan Jackson (2017) yang menemukan bahwa burnout merupakan respons terhadap stres kronis di tempat kerja dan menunjukkan pola serupa di antara individu-individu dengan karakteristik serupa. Sebaliknya, kesejahteraan psikologis yang berbeda menunjukkan perbedaan pola kerja. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dukungan sosial, keterampilan coping dan keadaan psikologis awal.

Menurut Ryff dan Keyes (1995) kesejahteraan psikologis terdiri dari berbagai aspek seperti hubungan baik dengan orang lain, kemandirian, penerimaan diri, kepekaan terhadap lingkungan, tujuan dunia dan pertumbuhan manusia. Perbedaan dimensi ini menjelaskan mengapa kesejahteraan psikologi menunjukkan distribusi yang tidak merata di kalangan mahasiswa yang bekerja. Misalnya, beberapa siswa mempunyai relasi yang sangat baik dengan orang lain dan menikmati pertumbuhan mereka, sementara yang lain mungkin kurang aktif dalam bidang tersebut.

Berdasarkankan data yang ada pada daya kategorisasi, skala burnout menunjukkan bahwa mayoritas subjek berada dalam kategori sangat rendah (28%) dan tinggi (20,7%), sementara sisanya tersebar pada kategori rendah, sedang, dan sangat tinggi. Di sisi lain, skala kesejahteraan psikologis menunjukkan distribusi yang lebih merata, dengan sebagian besar subjek berada dalam kategori rendah (23,2%) dan tinggi (20,7%), serta jumlah yang cukup signifikan pada kategori sangat rendah dan sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar subjek mengalami burnout dalam tingkat yang sangat rendah dan tinggi, sementara kesejahteraan psikologis mereka cenderung bervariasi dengan distribusi yang lebih seimbang. Hasil dari data tersebut menunjukkan bahwa ada variasi dalam tingkat burnout dan kesejahteraan psikologis di antara subjek. Umumnya, subjek dengan burnout tinggi cenderung mempunyai kesejahteraan psikologis yang rendah, dan sebaliknya. Namun, distribusi yang merata pada kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa hubungan antara burnout dan kesejahteraan psikologis mungkin lebih kompleks, karena tidak semua subjek dengan burnout tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang juga memengaruhi kesejahteraan psikologis.

Analisis menggunakan metode korelasi Spearman's Rho menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara burnout dengan kesejahteraan psikologis. Koefisien korelasi (r) sebesar -0,436 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis akan rendah jika semakin tinggi tingkat burnout pada mahasiswa yang bekerja. Koefisien determinasi (r�) sebesar 0,19 artinya 19% varian keringat dapat dijelaskan oleh kesejahteraan psikologis, sedangkan 81% disebabkan oleh faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Hasil ini menekankan pentingnya intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis untuk mencegah kelelahan pada pekerja pelajar.

Beberapa metode intervensi/pencegahan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologi dan mencegah burnout, seperti dukungan psikologis, pelatihan coping, dan manajemen stres. Dukungan psikologis dapat diberikan melalui konseling dan terapi psikologi untuk membantu mahasiswa mengatasi stres akademik dan pekerjaan. Pelatihan coping, seperti mengembangkan keterampilan manajemen waktu dan teknik relaksasi, dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menghadapi stres. Mengelola stres melalui aktivitas fisik, seperti olahraga dan meditasi, terbukti mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental.

Menurut Cohen dan Syme (1985), dukungan sosial sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup. Penelitian Miller (2020) menunjukkan bahwa mempunyai relasi yang baik dengan orang lain, yaitu mempunyai relasi yang dekat dan berarti, dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Jika diterapkan secara rutin, strategi ini dapat meningkatkan kesejahteraan psikologi dan mengurangi risiko burnout pada mahasiswa yang bekerja.

Tingginya tingkat kesejahteraan psikologis mahasiswa yang bekerja menunjukkan kemampuan mereka dalam memenuhi diri sendiri dengan baik, sehingga berbagai aspek kesejahteraan psikologis dalam diri mereka berkembang dengan optimal. Peningkatan kesejahteraan psikologis ini tidak hanya membantu mereka dalam menjalankan pekerjaan dan pendidikan, tetapi juga berkaitan dengan tingkat burnout yang mereka alami. Faktor internal seperti adaptasi terhadap pekerjaan, lingkungan kerja dan pendidikan universitas merupakan aspek penting dalam kesejahteraan psikologis. Penyesuaian diri terhadap tuntutan pekerjaan dapat mengurangi kelelahan emosional akibat tuntutan pekerjaan dan perkuliahan. Pelatihan yang diberikan kepada mahasiswa akan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan dan beban akademik yang mereka hadapi. Beradaptasi dengan tuntutan dalam pekerjaan bisa menurunkan tingkat burnout, khususnya dalam situasi sinisme dan ketidakmampuan yang muncul akibat kurangnya rasa percaya diri, seperti yang daitem ukan oleh Galleta et al., (2016).

Selain itu, interaksi sosial di luar jam kerja juga mempunyai peran penting dalam Upaya peningkatankesejahteraan psikologis dan mengurangi burnout. Kegiatan di luar jam kerja yang memungkinkan terjadinya interaksi positif dengan rekan kerja dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Kehangatan percakapan dan hubungan antar rekan kerja membantu menyegarkan pikiran yang penat akibat beban pekerjaan, sehingga merasa lebih segar dan termotivasi untuk menghadapi tantangan pekerjaan. Interaksi sosial ini tidak hanya membangun dukungan emosional di antara para pekerja, namun juga menciptakan lingkungan yang lebih positif dan kolaboratif, yang pada akhirnya memperkuat kesejahteraan psikologis dan mengurangi risiko burnout, seperti yang dinyatakan oleh Dreiso (2018). Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan burnout, serta menerapkan intervensi yang tepat, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengelola stres dan meningkatkan kualitas hidup mahasiswa yang bekerja. Studi ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana kesehatan mental dapat mempengaruhi tingkat kelelahan dan bagaimana intervensi yang tepat dapat membantu mahasiswa menjadi lebih baik dan lebih mampu menghadapi tantangan yang mereka hadapi.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menemukan hubungan secara negatif dan signifikan antara kesejahteraan psikologis dan burnout pada mahasiswa yang bekerja penuh waktu. Mahasiswa dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik cenderung tidak mengalami burnout, sementara mereka dengan kesejahteraan psikologis rendah lebih rentan mengalaminya. Faktor-faktor seperti hubungan sosial, penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan, perkembangan pribadi, dan tujuan hidup berperan penting dalam mengurangi risiko burnout. Temuan ini menekankan pentingnya intervensi yang meningkatkan kesejahteraan psikologis untuk mengurangi burnout pada mahasiswa pekerja penuh waktu. Penelitian lebih lanjut diharapkan mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis dan dampak burnout dalam konteks yang lebih luas

Top of Form

Bottom of Form

 

Daptar Pustaka

 

Abbott, R. A., Ploubidis, G. B., Huppert, F. A., Kuh, D., Wadsworth, M. E. J., & Croudace, T. J. (2006). Psychometric evaluation and predictive validity of Ryff�s psychological well-being items in a UK birth cohort sample of women. Health and Quality of Life Outcomes, 4, 1�16.

Andriani, D. (2019). Survei Nielsen: Anggaran Pendidikan di Indonesia Lebih Tinggi daripada Global (internet). Bisnis,(Dia Ses Tanggal 22 Agustus 2018, Tersedia Pada: Http://Abar24. Bisnis. Com/Read/20130916/255/163266/Survei-Nielsen-Anggaran-Pendidi an-Diindonesia-Lebih-Tinggi-Daripada-Global).

Bashooir, K., & Supahar, S. (2018). Validitas dan reliabilitas instrumen asesmen kinerja literasi sains pelajaran Fisika berbasis STEM. Jurnal Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, 22(2), 219�230.

Cohen, S. (1985). Issues in the study and application of social support. Social Support and Health/Academic.

Dreison, K. C., Luther, L., Bonfils, K. A., Sliter, M. T., McGrew, J. H., & Salyers, M. P. (2018). Job burnout in mental health providers: A meta-analysis of 35 years of intervention research. Journal of Occupational Health Psychology, 23(1), 18.

Gewati, M. (2017). Kenaikan Gaji Lebih Kecil dari Kenaikan biaya Pendidikan Solusinya. Online), Https://Ekonomi. Kompas. Com/Read/2017/07/17/0847005, 26.

Kholifah, S., Soeharto, S., & Supriati, L. (2016). Hubungan faktor-faktor internal dengan kejadian kelelahan mental (burnout) pada perawat. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 2(4).

Mardelina, E., & Muhson, A. (2017). Mahasiswa bekerja dan dampaknya pada aktivitas belajar dan prestasi akademik. Jurnal Economia, 13(2), 201�209.

Maslach, C., & Jackson, S. E. (2017). The measurement of experienced burnout. Journal of Organizational Behavior, 2(2), 99�113.

Miller, E. G. (2020). In the eye of the beholder. Pediatric Palliative Care, 6.

Rahmatpour, P., Chehrzad, M., Ghanbari, A., & Sadat-Ebrahimi, S.-R. (2019). Academic burnout as an educational complication and promotion barrier among undergraduate students: A cross-sectional study. Journal of Education and Health Promotion, 8(1), 201.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719.

Sebayang, R. (2018). RI Masuk Daftar Negara Biaya Pendidikan Termahal di Dunia (internet). CNBC Indonesia,(Dia Ses Tanggal 23 Agustus 2018, Tersedia Pada: Https://Www. Cnbcindonesia. Com/Lifestyle/20180416125235-33-11142/Ri-Masu-Daftar-Negara-Biayapendidi an-Termahal-Di-Dunia).

Siregar, S. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif: dilengkapi dengan perbandingan perhitungan manual dan SPSS.

Sugiyono, S. (2018). Metode penelitian kuantitatif. Bandung: Alfabeta.

Todorovic, J., Divjak, J., Stamenković, Z., Mandic-Rajcevic, S., Kocic, S., UKROPINA, M., Marković, R., Radulović, O., Arnaut, A., & Piperac, P. (2021). Validation of the Study Burnout Inventory and the Copenhagen Burnout Inventory for the use among medical students.