KONTRIBUSI FILSAFAT SOREN AABYE KIERKEGAARD DALAM MEMBANGKITKAN HARAPAN DI TENGAH PENGALAMAN BENCANA KEMANUSIAAN

 

Filistus Teodorus Naju

Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

[email protected]

 

Abstrak:

Tujuan utama penelitian ini adalah mengeksplorasi relevansi filsafat eksistensialisme Kierkegaard dalam membangun harapan di tengah keputusasaan akibat bencana kemanusiaan. Salah satu dampak bencana kemanusiaan ialah pengalaman keputusasaan. Pengalaman ini muncul ketika manusia dihadapkan pada aneka kebijakan untuk mengurangi korban bencana kemanusiaan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini ialah analisis kritis terhadap filsafat eksistensialisme Kierkegaard dan relevansinya dalam membangkitkan harapan di tengah bencana kemanusiaan seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami. Melalui gagasan wilayah eksistensi dan keputusasaan dalam aliran filsafat eksistensialisme Kierkegaard, studi ini menemukan beberapa hal. Pertama, manusia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri dalam situasi bencana kemanusiaan saat ini. Kedua, ketika manusia putus asa, berarti ia harus melakukan sesuatu terhadap dirinya, termasuk berani masuk ke dalam wilayah eksistensi yang lebih tinggi. Ketiga, harapan dalam diri yang Ilahi melatih manusia untuk tetap sabar terhadap segala kebijakan dari pemerintah yang pada intinya membatasi ruang gerak para korban.

 

Kata Kunci: Bencana Kemanusiaan; Kierkegaard; Keputusasaan; Harapan

 

Abstract:

The main objective of this research is to explore the relevance of Kierkegaard's existentialist philosophy in fostering hope amidst despair caused by humanitarian disasters. One of the impacts of humanitarian disasters is the experience of despair. This experience arises when humans are faced with various policies to reduce victims of humanitarian disasters. The method used in this paper is a critical analysis of Kierkegaard's philosophy of existentialism and its relevance in generating hope in the midst of humanitarian disasters such as volcanic eruptions, floods, landslides and tsunamis. Through the idea of the area of existence and despair in Kierkegaard's existentialism philosophy, this study found several things. First, humans cannot rely on themselves in the current situation of humanitarian disasters. Secondly, when man despairs, it means that he must do something about himself, including daring to enter into a higher region of existence. Third, hope in the divine self trains humans to remain patient with all government policies that essentially limit the space for victims to move.

 

Keywords: Humanitarian Disasters; Kierkegaard; Despair; Hope

 

Pendahuluan

Iman dan akal budi merupakan dua tema yang menarik dan selalu aktual untuk didiskusikan. Tema ini merupakan sesuatu yang sama sekali tidak� baru, sebab tema ini sering didiskusikan setiap zaman dengan mendapat berbagai macam respon yang berbeda. Tetapi hemat penulis bahwa tujuannya hanya satu yaitu bagaimana menemukan cara untuk melerai konflik sekaligus mendamaikan keduanya (Khalid, 2020). Filsafat menjadi terang sekaligus locus meditatif untuk merefleksikan baik dari kebenaran setiap ilmu maupun realitas keseharian hidup manusia. Dan salah satu sifat penting filsafat ialah mencari asas. Dengan menemukan esensi dari suatu realitas, maka inti dari realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas (Nggili, 2022). Hari ini, kehidupan umat manusia dihadapkan pada berbagai bencana alam yang berulang kali terjadi (Taufik, 2018). Media cetak maupun online terus dibanjiri berita peperangan, bencana alam, dan penyakit yang pada hakikatnya mengganggu eksistensi manusia dan semua makhluk hidup lainnya di bumi ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bencana kemanusiaan ini mampu mengubah sejarah dunia dengan keganasannya. Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami bersifat fisik seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor- dan aktivitas manusia, dan karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen dalam menghadapi keadaan darurat, telah menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan kematian (Abdillah, 2021). Bahkan segala perkiraan mengenai dampak yang diakibatkan begitu jauh dari kenyataan yang ada. Dari hal ini penulis barang kali dapat merumuskan bahwa manusia sesungguhnya rapuh. Segala sesuatu yang bisa diandalkan luruh seketika.

Orang-orang hidup dalam kekuatiran. Kuatir dengan kondisi� kesehatannya, baik fisik maupun psikis, kuatir atas keluarga dan teman-temannya, khususnya kaum usia lanjut dan lemah. Rasa takut dan cemas mengintai setiap saat. Selanjutnya, definisi bencana, sebagaimana tertera dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.(Abdillah, 2021) Di tengah situasi demikian filsafat Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) menjadi sangat relevan. Permenungan filosofisnya tentang wilayah eksistensi dan keputusasaan membuat manusia dapat membangkitkan harapan dalam menghadapi berbagai macam bencana kemanusiaan. Karena itu tulisan ini dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, kajian tentang keputusasaan dalam situasi bencana kemanusiaa. Kedua, pembahasan wilayah eksistensi dan keputusasaan. Ketiga, relevansi dalam membangun harapan di tengah bencana kemanusiaan. Keempat, kesimpulan.

Eksistensialisme merupakan pemikiran kefilsafatan yang hadir dengan tema khusus, yakni tentang eksistensi (keberadaan) manusia. Walau para filsuf yang tergolong di dalamnya berbeda tafsiran mengenai makna eksistensi itu sendiri, akan tetapi mereka sepakat dalam menetapkan bahwa manusia konkret harus menjadi starting point (titik tolak) dan perhatian utama bagi pemikiran filsafat. Mereka juga memahamkan dan meyakinkan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya.(Insany & Robandi, 2023) Perbincangan dan kajian tentang eksistensi manusia pada intinya berupaya menata dan memperbaiki interpretasi (penafsiran) tentang manusia. Manusia harus dipahami dan dihadirkan sebagai individu yang memiliki kedirian unik, bebas dan terlepas dari ikatan gerombolan, karena manusia bukan gerombolan tetapi individu.(Insany & Robandi, 2023) Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala sesuatu gejala bertitik tolak dari eksistensinya. Eksistensi sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentuk keberadaan. Manusia berada di dalam dunia atau dengan perkataan lain cara berada manusia di dalam dunia. Kata �eksistensi� berasal dari kata �eks� (keluar) dan �sistensi�, yang diturunkan dari kata kerja �sisto� (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata �eksistensi� dapat diartikan manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.(Armawi, 2011)

Penelitian ini menawarkan pendekatan unik dengan menerapkan filsafat eksistensialisme Kierkegaard untuk memahami dan mengatasi keputusasaan yang dihadapi korban bencana. Dalam konteks studi sebelumnya, kebanyakan penelitian lebih berfokus pada aspek manajemen bencana atau intervensi psikologis yang bersifat teknis. Namun, sedikit yang menyoroti peran dimensi spiritual dan filosofis sebagai strategi untuk membangun ketahanan mental korban bencana. Dengan menghubungkan konsep wilayah eksistensi Kierkegaard dengan pengalaman bencana, penelitian ini memberikan kontribusi baru dalam memahami bagaimana harapan dapat dipulihkan melalui pendekatan eksistensial.

Studi ini penting karena bencana kemanusiaan akan terus terjadi dengan dampak yang semakin besar. Dengan memanfaatkan perspektif filosofis Kierkegaard, penelitian ini menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana manusia dapat mengatasi keputusasaan yang muncul selama bencana. Relevansi filsafat eksistensialisme Kierkegaard terletak pada kemampuannya untuk memberikan solusi berbasis spiritual yang mampu melampaui pendekatan materialistik tradisional. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mendukung upaya pemulihan korban bencana yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga holistik.

Tujuan utama penelitian ini adalah mengeksplorasi relevansi filsafat eksistensialisme Kierkegaard dalam membangun harapan di tengah keputusasaan akibat bencana kemanusiaan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana konsep wilayah eksistensi dan keputusasaan Kierkegaard dapat diterapkan dalam konteks pengalaman bencana. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan kepada pembuat kebijakan dan praktisi kemanusiaan mengenai pentingnya pendekatan spiritual dalam manajemen bencana.

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis dan teoretis. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh lembaga kemanusiaan untuk mengembangkan strategi pemulihan korban bencana yang lebih holistik. Secara teoretis, penelitian ini memperkaya kajian filsafat eksistensialisme dengan menghubungkannya dengan situasi kontemporer seperti bencana kemanusiaan. Lebih jauh, penelitian ini dapat menjadi referensi penting bagi studi lintas disiplin yang mencakup filsafat, psikologi, dan manajemen bencana.

 

 

Metode

Untuk mengkaji secara lebih baik tema tulisan ini, metode� penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini tidak melibatkan data kuantitatif atau alat ukur statistik, yakni studi literatur yang mengacu pada catatan-catatan atau tulisan dari berbagai buku dan tulisan jurnal penunjang lainnya, serta tulisan hasil penelitian dan informasi lainnya yang telah dipublikasikan. Sumber informasi literatur yang dirujuk adalah yang membahas tentang permasalahan terkait bencana kemanusiaan juga literatur yang berkaitan dengan filsafat eksistensialis Kierkegaard. Dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan studi pustaka dan studi lapangan desain pengumpulan data adalah peneliti melakukan studi pustaka dari berbagai literatur yang relevan.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Keputusasaan Di Tengah Bencana Kemanusiaan

Segala macam bencana kemanusiaan berdampak pada meningkatnya gangguan kesehatan mental di tengah masyarakat. Hal ini tampak dalam sikap seseorang yang lekas marah, stres, cemas, dan depresi. Peningkatan masalah ini disebabkan oleh pembatasan kebebasan manusia untuk beraktivitas, menikmati kedamaian, menghirup udara segar. Persoalan ini diperparah lagi oleh adanya rasa takut mati, tertular penyakit, kekurangan persediaan makanan, kesepian, dan kebosanan. Di Indonesia misalnya, terlebih khusus bencana gunung meletus baru-baru ini yaitu gunung Lewotobi laki-laki di Flores Timur, NTT, berdasarkan data yang didapat, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada Selasa, 12 November 2024 sebanyak 2.735 keluarga terpaksa mengungsi (13.116) jiwa yang tersebar di beberapa 8 lokasi pengungsian (Para pengungsi tersebar di 59 desa di wilayah terdampak) (Jaringan Caritas Indonesia Terus Bergerak Membantu 9000 Pengungsi Akibat Erupsi Gunung Lewotobi, 2024). Juga bencana tsunami yang melanda Aceh yang banyak menelan korban hingga 170.000 jiwa dan banyak warga yang kehilangan harta bendanya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menyatakan bahwa tsunami Aceh merupakan salah satu bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi (Sari, 2023). Serta Gempa bumi dan tsunami Flores 1992 terjadi pada tanggal 12 Desember di Pulau Flores , Indonesia . Dengan kekuatan 7,8 skala Richter dan intensitas Mercalli maksimum VIII ( Berat ), gempa bumi ini merupakan gempa bumi terbesar dan paling mematikan pada tahun 1992 dan di wilayah Kepulauan Sunda Kecil (Tjandra, 2018).

Kenyataan ini mengungkapkan betapa sulitnya masyarakat� menjalani rutinitas dalam situasi yang baik-baik saja. Kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan selalu menghantui masyarakat. Ketika masyarakat tidak bisa berdamai dengan situasi ini, maka masyarakat mudah putus asa. Berhadapan dengan situasi ini aliran filsafat S�ren Aabye Kierkegaard sangat relevan untuk membantu para korban bencana untuk melihat ke dalam diri bahwa selalu ada harapan jika kita selalu berharap pada Tuhan. Tuhan adalah jalan untuk menemukan ketenangan batin. Sebagai aliran filsafat, eksitensialisme menyelidiki eksistensi konkrit manusia. Eksistensialisme berbicara mengenai perasaan eksistensial sebagaimana ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kegembiraan, dan pengharapan. Namun perlu diketahui bahwa ada dua aliran eksistensialisme yang berbeda pandangan mengenai Tuhan. Pertama, biasa disebut eksistensialisme teis atau religius, dan kedua eksistensialisme ateis yang menihilkan Tuhan. Eksistensialisme ateis berpendapat jika eksistensi Tuhan diterima berarti eksistensi manusia menjadi semu, karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan. Tokoh dari eksistensialisme ateis diwakili oleh Sartre, Nietzsche, dan lainnya. Adapun eksistensialisme teis berpendapat, manusia menjawab temporalitas dan keterbatasannya dengan menghadirkan Tuhan sebagai basis kehidupannya. Kubu ini diwakili oleh Soren Kierkegaard, Gabriel Marcel, dan lainnya. Kierkegaard sendiri terkenal dengan konsep eksistensialisme religius, sekaligus dikenal sebagai bapak eksistensialisme.(Mohamad Za�in Fiqron, 2023) Salah satu pemikiran penting yang dikembangkan oleh Kierkegaard ialah gagasannya tentang �wilayah Eksistensi dan Keputusasaan�. Wilayah eksistensi sebagai tahap-tahap jalan hidup, dan keputusasaan sebagai kegagalan bereksistensi.

 

Filsafat Eksistensialisme Kierkegaard

S�ren Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah seorang filsuf berkebangsaan Denmark yang lahir pada tanggal 5 Mei 1813. Ia menyatakan pendapat yang berbeda dengan filsuf sebelumnya. Hal ini ia ungkapkan melalui pemikiran filsafatinya dalam karyanya yang berjudul Either/Or. Menurut Kierkegaard, hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana yang dipikirkan melainkan sebagaimana yang dihayati. Semakin mendalam penghayatan manusia mengenai kehidupan maka semakin bermakna pula kehidupannya. S�ren Kierkegaard memperingatkan bahwa dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia sangat mudah untuk diperdaya atau dimanipulasi oleh kesemuan-kesemuan yang tidak bermakna (meaningless).(Armawi, 2011) Eksistensialsime sendiri berasal dari kata eksistensi yang secara harfiah �ex� artinya �keluar�, dan �sitensia� (sistere) artinya �berdiri�. Dengan mengatakan manusia bereksistensi artinya manusia baru menemukan diri sebagai �aku� dengan keluar dari dirinya. Eksistensialisme juga merupakan suatu pemahaman secara terminologi yang berarti keluar untuk menyadari bahwa dirinya berdiri sendiri, karena dirinya ada, memiliki aktualitas dan mampu menilai apa yang dialami.(Armawi, 2011) Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap perkembangan yang bergejolak, termasuk dampak perang dunia I dan perang dunia II yang meruntuhkan keyakinan lama mengenai nilai-nilai mutlak dan tujuan hidup. para filsuf eksistensialis, seperti Soren Kierkegaard, dan lainnya mengajukan pertanyaan fundamental tentang makna hidup, kebebasan, dan eksistensi manusia.

 

Wilayah eksistensi meliputi wilayah estetis, etis, dan religius

Pertama, tahap estetis. Merupakan sebuah usaha untuk mendefenisi dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik dan yang jahat. Artinya ketika orang bertindak ia tidak memikirkan apakah tindakannya baik atau jahat, lalu menilainya apakah tindakan boleh dilakukan atau tidak. Ciri khas tahap ini ialah pemenuhan atas keinginan langsung dan spontan, tidak ada prinsip moral, dan pertimbangan nilai baik atau buruk. Yang ada adalah kepuasan dan ketidakpuasan, rasa terpenuhi, dan frustrasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa (Tjaya, 2022).

Kedua, tahap etis. Pada tahap ini seseorang mulai memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik dan yang jahat dalam bertindak. Hidupnya tidak lagi ditandai oleh sifat langsung tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati dan refleksi memainkan peranan penting dalam tahap ini.

Ketiga, tahap religius. Tahap ini orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukanlah miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasinya dengan Yang Ilahi kepuasan diri dalam mencapai sesuatu, hidup bermoral dan pencapaian kebahagiaan abadi tidak mendapat tempat. Dalam pemberian diri dan komitmen kepada Yang Ilahi orang harus terus menerus menyingkirkan dan membersihkan segala bentuk perhatian pada diri sendiri dari motivasi bertindak, termasuk keinginan memperoleh kebahagiaan abadi bersama Yang Ilahi.

Hemat penulis berhadapan dengan situasi bencana, keputusasaan menjadi milik yang mutlak dari para korban. Maka dari itu, dalam �The Sickness Unto Death� Kierkegaard mengungkapkan tiga cara manusia yang gagal menghadapi persoalan kebutuhan untuk mengungkapkan hakikat temporal dan abadi dalam hidupnya. Kegagalan ini ia sebut sebagai bentuk �keputusasaan�. Secara ringkas tiga cara itu dapat disimpulkan bahwa orang lebih mengandalkan kekuatannya sendiri dan tidak melibatkan kekuatan yang melampaui dirinya yaitu kekuatan ilahi. Ia juga mengungkapkan ada dua sikap yang membuat orang putus asa, yakni a) Apa yang ditemukannya dalam hidup ini tidak sesuai dengan kenyataan. b) kebalikan dari yang pertama bahwa orang yang putus asa, tindakannya tidak sesuai dengan kenyataan, namun ia menyerah berusaha karena tujuannya tidak memungkinkan (Garot, 2017). Kierkegaard mengajukan sebuah analogi untuk penjelasannya mengenai keputusasaan akan kemungkinan ini dalam contoh seseorang yang mengalami penderitaan yang begitu menjatuhkannya. Kejatuhan sudah tak dapat dihindarkan lagi. Kejatuhan sudah pasti terjadi. Ketenangan akan terbentuk jika manusia menerima dan menyetujui kenyataan tersebut. Ia akan merasa tenang bila menerima keadaan dirinya yang mengalami keputusasaan. Konsekuensi dari penerimaan tersebut adalah tak ada sesuatu atau tak ada seseorang yang akan ia persalahkan. Ia akan berusaha atau mencari bantuan atau menghubungi orang lain sebagai cara untuk menghindarkan dirinya dari realitas keputusasaan. Dalam kasus ini bagi Kierkegaard, penyelamatan secara manusiawi itu tidak mungkin. Namun, dengan Tuhan, segala sesuatu itu mungkin. Inilah peperangan dari iman. Berperang secara gila untuk mencari kemungkinan. Hanya melalui kemungkinan itu, muncullah penyelamatan. Percaya adalah kesungguhan untuk melepaskan pengertiannya sendiri, supaya mendapatkan keselamatan dari Tuhan.

Apa yang begitu ditekankan Kierkegaard dalam bagian ini adalah pernyataan yang secara jelas meyakinkan (Suwito, 2023). Kierkegaard menekankan bahwa dengan adanya Tuhan, segala sesuatu itu mungkin. Kepandaian atau kejeniusan seseorang dapat membuatnya untuk menciptakan kemungkinan. Akan tetapi, pada tahap akhir ketika aspek kemungkinan itu bergantung pada iman, bantuan baginya adalah Tuhan. Bagi Tuhan, segala sesuatu itu mungkin. Bagi orang yang beriman, mereka memiliki penangkal yang tak pernah salah atau tidak dapat gugur bagi adanya sebuah kemungkinan. Menurut Kierkegaard, alasannya, bagi Tuhan, segalanya mungkin dalam setiap momen. Dalam keputusasaan akan keharusan, kesadaran dari diri yang aktual begitu meliputi seseorang sehingga ia tidak dapat memimpikan dan mengharapkan sebuah perubahan yang melampaui hal aktual atau yang ada sekarang ini.(Imanuel Eko Anggun Sugiyono, 2023)

 

Relevansi Filsafat Eksistensialisme Kierkegaard Dalam Membangkitkan Harapan Di Tengah Bencana Kemanusiaan

 

Wilayah Estetis

Kierkegaard menggambarkan bahwa dalam wilayah ini manusia dipenuhi oleh pengalaman emosi dan nafsu (Mokorowu, 2016). Di tengah bencana seseorang yang berada dalam tahap etis, sangat kesulitan ketika berhadapan dengan pembatasan aktivitas. Ia merasa bosan, cemas, gelisah bahkan sampai putus asa. Karena segala keinginannya dibatasi. Cukup sulit baginya untuk menerima segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan dalam meminimalisis korban jiwa. Padahal dalam situasi seperti ini, setiap orang mesti memilih kesadaran untuk melindungi orang lain. Terhadap persoalan ini, Kierkegaard menganjurkan agar seseorang berani mengembangkan �metode rotasi�. Metode ini menekankan pada prinsip pembatasan dan pendisiplinan diri. Melalui hal ini seseorang dapat memanfaatkan momen untuk mengantisipasi hal yang akan datang dan ia dapat megawasi realitas di depannya tanpa harus terlena dengan harapan palsu. Metode ini mengajak orang agar dalam situasi bencana yang terjadi saat ini, ia harus memiliki pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Ia mesti menahan diri, agar bisa melindungi siapa saja yang berada disekitarnya.

 

Wilayah Etis

Dalam tahap ini, seseorang tidak lagi digerakan oleh tindakan spontan, tetapi ia digerakan oleh pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Ia digerakan oleh moralitas tertentu dalam hal menentukan apa yang baik dan yang buruk sebagai salah satu pertimbangan untuk bertindak. Namun individu yang berada dalam tahap ini masih berada dalam tegangan antara dua hal, yaitu: mengejar apa yang secara universal dilakukan atau masih dibatasi oleh kediriannya (Garot, 2017). Dalam situasi bencana, individu etis cenderung memiliki konsep yang ideal tentang dirinya. Ia memandang bahwa ia mampu melakukan sesuatu tanpa tergantung dengan apa pun yang berasal dari luar dirinya (Yang Ilahi). Pandangan inilah yang menghantui manusia dewasa ini. Orang yang menaruh kepercayaan pada dirinya sendiri akan menjadi individu yang kehilangan pegangan hidup dan berujung pada keputusasaan (Maheri, 2017). Dengan kata lain, di tengah bencana yang terjadi saat ini, hendaknya manusia tidak berhenti pada titik ini, tetapi ia harus berani membuka diri terhadap realitas trasenden, yakni Yang Ilahi.

 

Wilayah Religius

Secara singkat berarti bahwa pentingnya kesadaran abadi (Yang Ilahi) pada manusia, tanpa hal ini hidup akan dipenuhi oleh rasa putus asa. Maka baginya wilayah religius merupakan puncak peziarahan manusia di dunia. Karena itu ia mengungkapkan pentingnya beriman. Kierkegaard mengungkapkan bahwa kebahagiaan dalam Allah sesungguhnya lebih banyak memberikan harapan dalam hidup manusia yang memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya. Agama adalah obat melawan keputusasaan, menyediakan dukungan psikologis dan emosional yang tak terpisahkan dari kesejahteraan seseorang. Telah dibahas sebelumnya bahwa pada tahap estetis maupun etis memiliki kekurangan, yakni berakhir pada keputusasaan. Namun manusia tidak perlu bermuram karena adanya keputusasaan itu karena sebenanrnya ia hanya pintu gerbang untuk menuju eksistensi yang lebih tinggi lagi. Dimensi religius akan terbuka pada saat itu. Dengan demikian, akan ada yang namanya eksitensi religius, eksistensi yang paling tinggi dalam pandangan Kierkegaard.

keputusasaan bukanlah sebuah final dalam kehidupan, namun ia adalah sebuah jalan menuju permulaan yang sesungguhnya. Dapat juga dikatakan dengan bahasa lain bahwa keputusasaan adalah prakondisi manusia sebelum menuju tahap eksistensi religius yang sebenarnya. Memang pada dasarnya manusia menganggap bahwa keputusaaan adalah sebuah penderitaan yang mendalam yang dialami individu. Memang pernyataan itu juga tak sepenuhnya dapat disalahkan karena jika keputusasaan itu dibawa tanpa kesadaran atau sadar namun tidak ada respon positif atau kehendak dan aksi untuk berbenah, maka itu akan benar-benar menyudutkan manusia pada jurang kehancuran. Kesadaran untuk berbenah ini dimaksudkan adalah kemauan dari dalam diri untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada Tuhan. Ia mengakui bahwa ada realitas Tuhan yang sebagai topangan. Dengan demikian, manusia ketika mendapat problematika besar dalam hidupnya tidak mudah tergoyah. Ketika tergoyah pun ia akan berpegangan dengan tali yang sangat kuat, yakni keyakinan. Jadi manusia dalam menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa adanya syarat apapun. Ia dengan kesadaran primanya menuju dan menyadari realitas yang sebenarnya. Sehingga ia tidak merasa dalam kekangan atau dalam belenggu tertentu. Tahap religius ini merupakan hasil dari kristalisasi perjalanan hidup. Pada tahap ini tentu akan melahirkan sikap bijaksana juga. Seseorang yang mendapat konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Pun dengan penyerahan, manusia akan menyimpulkan bahwa jalan terakhir memperoleh ketenangan hidup hanyalah dengan menyatu dengan Tuhan.(Kierkegaard, 1959)

seperti yang telah penulis sematkan pada bagian terdahulu tulisan ini, bahwa relasi antara iman dan akal budi selalu menjadi tema yang menarik terutama ketika dikaitkan dengan hidup beragama zaman ini. Iman secara sederhana dapat dimengerti sebagai tanggapan positif kita terhadap Wahyu yang diturunkan dari Tuhan yang dikekalkan melalui Kitab Suci dan tradisi-tradisi religius. Sementara itu akal budi adalah kemampuan kodrati kita untuk memahami beragam pengetahuan demi perkembangan kita bersama yang lain. Namun senada dengan filsafat eksistensialisme Kierkegaard, saya berpikir bahwa sebenarnya iman dan akal budi akan menjadi indah dan berdaya guna jika diracik sebagai resep kemanusiaan. Iman semestinya menjadi panduan moral bagi tindakan-tindakan kita, sebab iman mendiskursuskan Tuhan. Sedangkan akal budi adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang berusaha merefleksikan Wahyu Tuhan sehingga dapat selalu kontekstual bagi kemanusiaan itu sendiri. Untuk itu perlu irisan yang seimbang antara keduannya agar sikap keterbukaan terhadap realitas manusia menjadi hal yang penting demi kemajuan kemanusiaan itu sendiri. Ketika dalam kesulitan, penderitaan atau bahkan maut, penting bagi kita untuk menumbuhkan harapan dalam hati. Bahwa mementingkan diri sendiri itu tidak baik. Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri. Yang perlu kita lakukan ialah terbuka pada realitas Yang Ilahi. Dalam relasi dengan Allah kita akan dipenuhi harapan dan bangkit dari keputusasaan. Kita perlu seperti Abraham. Iman Abraham sangat kental dalam banyak pemikiran Kierkegaard.(Mohamad Za�in Fiqron, 2023) Yaitu melalui tindakan yang absurd menurut kita zaman ini ia taat dan percaya kepada kehendak Allah. Iman akan Allah menjadi kekuatan yang mendasar dalam melewati masa-masa sulit. Seperti yang dikatakan oleh Kierkegaard kita tidak bisa mengandalkan diri sendiri. Kita mesti masuk ke dalam wilayah eksistensi yang paling tinggi. Pengalaman ini merupakan saat di mana kita berpaling kepada Yang Ilahi dan membiarkan diri ditolong-Nya. Pengharapan adalah momen penemuan kembali dirinya dan eksistensinya. Pengharapan semacam ini hanya ada dalam Allah.

 

Kesimpulan

Pandangan filsafat eksistensialisme Kierkegaard dapat membantu manusia menumbuhkan harapan di tengah bencana kemanusiaan dalam tiga hal: pertama, manusia diajak untuk tidak mementingkan diri sendiri dan mengikuti hasrat spontannya, tetapi ia harus memiliki cara pandang berbeda dan berani untuk menahan diri. Kedua, manusia tidak cukup mengandalkan kekuatannya sendiri. dalam hal ini hanya mengandalkan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Ia harus terbuka pada kenyataan yang ada di luar dirinya yang melampaui cara berpikirnya. Ketiga, puncak dari pergumulan seorang individu ialah ketika ia terbuka pada realitas Yang Ilahi. Dalam relasi dengan Allah seseorang akan dipenuhi oleh harapan dan bangkit dari keputusasaan. Dengan demikian, dalam situasi bencana kemanusiaan saat ini, iman akan Allah menjadi kekuatan yang mendasar dalam melewati masa-masa sulit. ...

Top of Form

Bottom of Form

 

Daftar Pustaka

 

Abdillah, A. (2021). Bencana Kemanusiaan dalam Tinjauan Filsafat Perenial. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 1(2), 74�95. https://doi.org/10.15575/jpiu.12199.

Armawi, A. (2011). Eksistensi Manusia Dalam Filsafat S�ren Kierkegaard Oleh:Armaidy Armawi 1. Jurnal Filsafat, 21, 21�29.

Garot, E. (2017). Pergumulan Individu dan Kebatiniahan: Menurut S�ren Kierkegaard. PT Kanisius.

Imanuel Eko Anggun Sugiyono. (2023). Keputusasaan Menurut Kierkegaard Dalam the Sickness Unto Death. Jurnal Filsafat Indonesia, 6(1), 90�97. https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.47334

Insany, A., & Robandi, B. (2023). Pemikiran Kritis Filsuf Kierkegaard Tentang Manusia Eksistensialis dan Pendidikan. Jurnal Penelitian Pendidikan, 22(3), 343�358. https://doi.org/10.17509/jpp.v22i3.54163

Jaringan Caritas Indonesia Terus Bergerak Membantu 9000 Pengungsi Akibat Erupsi Gunung Lewotobi (2024).

Khalid, Z. (2020). Eksklusivisme Tafsir: konsep keberagamaan dalam Tafsir Muhammad bin Salih al-�Uthaimin. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kierkegaard, A. B. S. (1959). Bab Ii Riwayat Hidup Dan Pemikiran Soren Kierkegaard. IV, 10�34.

Maheri, H. (2017). Status Waris Anak Khuntsa Musykil Dalam Pandangan Imam Syafi�i. UIN Raden Intan Lampung.

Mohamad Za�in Fiqron. (2023). Signifikansi Eksistensialisme Religius Soren Kierkegaard Di Era Digital. PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Humaniora, 2(4), 662�673. https://doi.org/10.56799/peshum.v2i4.1664

Mokorowu, Y. Y. (2016). Makna Cinta: Menjadi Autentik dengan Mencintai Tanpa Syarat Menurut S�ren Kierkegaard. PT Kanisius.

Nggili, R. A. (2022). Filsafat: Ruang Refleksi Memahami Realitas. Langkibo.

Sari, R. N. (2023). Mengenang & Refleksi Diri 19 Tahun Tsunami Aceh (2004 � 2023).

Suwito, D. (2023). Kierkegaard�Komunikasi Langsung dan Komunikasi Tidak Langsung. Dekonstruksi, 9(04), 20�32.

Taufik, M. (2018). Hak Informasi Atas Bencana Alam Dalam Kajian Hak Asasi Manusia. Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 1(1), 57�69.

Tjandra, K. (2018). Empat bencana geologi yang Paling Mematikan. UGM PRESS.

Tjaya, T. H. (2022). Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri. Kepustakaan Populer Gramedia.